Gedung Kampus Universitas Primagraha Serang. (Foto: Lpm Lugas). |
LPM LUGAS - Berorganisasi mungkin sudah menjadi salah satu rencana jangka panjang sebagian mahasiswa sejak menginjakkan kaki ke teras perguruan tinggi baik itu intra kampus ataupun ekstra kampus.
Meskipun tak dapat dipungkiri, masih ada juga yang bertanya apakah mengikuti organisasi itu penting bagi mahasiswa di sela-sela menumpuknya tugas yang tak terkira.
Dalam beberapa literatur, definisi dan manfaat berorganisasi secara teoritis dapat dengan mudah ditemukan meskipun sedikit yang bisa memahami secara substantif, sebab sebagian orang aktif berorganisasi lebih pro terhadap doktrin pragmatis, sekalipun dalam organisasi sekelas mahasiswa.
Secara umum manfaat berorganisasi adalah mendapatkan pelajaran tambahan dari apa yang belum tentu di dapatkan di pendidikan formal, seperti melatih kepekaan sosial, berpikir kritis, melatih jiwa kepemimpinan, meningkatkan kemampuan berkomunikasi, dan manajemen diri. Beberapa keuntungan tersebut bisa didapatkan oleh setiap individu tergantung dari taraf prosesnya.
Namun akhir-akhir ini penurunan gairah mahasiswa untuk ikut dan aktif dalam organisasi menjadi fenomena yang mewabah. Salah satu yang memberi pengaruh signifikan adalah sejak pandemi covid-19 dimana aktivitas belajar diganti dengan daring yang otomatis membatasi interaksi sosial mahasiswa sehingga semua kegiatan kampus dan organisasi menjadi stagnan. Penurunan terus terjadi dengan faktor yang bermacam-macam.
Dalam hal ini, faktor yang memengaruhi tentu beda antara dulu dan sekarang, jika dulu minimnya pengetahuan, keinginan untuk bekerja dan kurangnya kesadaran organisasi menjadi faktor utama, maka sekarang ambisi mahasiswa yang ingin menyelesaikan perkuliahan secara cepat menimbulkan kurangnya minat untuk berorganisasi.
Sebab banyak mahasiswa hanya terfokus dalam pekuliahan saja, tanpa ingin mengasah soft skill mereka melalui organisasi, bahkan banyak juga yang menganggap jika aktivitas organisasi mengganggu terhadap kondusifitas belajar di kampus padahal problemnya terletak pada manajemen waktu setiap individu. Salah satu faktor lainnya ialah kecenderungan mahasiswa terhadap bisnis yang lebih menyita waktu sebab banyaknya kebutuhan yang menekan adanya pemasukan mandiri.
Begitulah apatisasi terjadi, penurunan rasa ketertarikan ini bagaikan trend baru yang terintegrasi dari satu orang ke orang lainnya sehingga banyak yang mengamini bahwa organisasi tidak penting dan hanya buang-buang waktu serta materi.
Stimulasi Minat Mahasiswa
Sudah menjadi perkara lazim bahwa manusia adalah penganut dinamisasi sehingga rasa jenuh rentan terjadi ketika kegiatan monoton dan terkesan ‘itu-itu saja’. Hal ini dapat terjadi pada siapapun tanpa berbatas usia.
Dalam organisasi mahasiswa, aktivitas organisasi tidak mesti melulu berbicara tentang idealisme dan diskusi di warung kopi, meskipun hal tersebut tetap menjadi prioritas utama dari segi pemenuhan intelektualitas.
Inovasi pengembangan skill dengan corak pembelajaran edukatif-rekreatif harus diperhatikan karena selain mengasah potensi, mahasiswa juga perlu kegiatan yang membangkitkan semangat dengan bersenang-senang tanpa meninggalkan sisi edukasinya.
Selanjutnya ialah branding organisasi yang lebih kreatif di era persaingan digitalisasi, apalagi aktivitas mahasiswa hari ini banyak menghabiskan waktu untuk berselancar di internet dan dunia maya.
Mengikat anggota dengan rasa saling memiliki juga perlu karena organisasi adalah keluarga kecil tanpa hubungan darah. Bagi sebagian orang, mengemban amanah dan dilibatkan dalam kegiatan kecil dapat memberikan kesan diakui sehingga dari sanalah rasa cinta terhadap organisasi terstimulasi untuk tumbuh. (Red)*