![]() |
| Mahasiswa prodi Teknik Industri Universitas Primagraha mendapat perlakuan represif dan diskriminalisasi pada aksi damai (May Day). (Foto: LPM Lugas) |
LPM LUGAS – Hajar Wisnu Hardiansyah, mahasiswa Fakultas Teknik Industri Universitas Primagraha, mengalami perlakuan represif dan dikriminalisasi usai mengikuti aksi damai peringatan Hari Buruh (May Day) yang digelar di depan Gedung DPR RI pada 1 Mei 2025.
Aksi yang awalnya berjalan kondusif berujung pada penangkapan paksa oleh aparat kepolisian, bahkan status Hajar kini telah ditetapkan sebagai tersangka.
Kronologi Penangkapan: Dari Aksi Damai ke Jeruji Hukum
Hajar menjelaskan bahwa ia bersama tiga orang temannya tiba di lokasi aksi sekitar pukul 13.30 WIB. Saat itu suasana di sekitar Gedung DPR RI berlangsung damai dan tertib. Massa aksi sebagian besar duduk, bernyanyi, dan menyampaikan orasi.
Pukul 16.40 WIB, ketika grup musik "The Jansen" tampil menghibur peserta aksi, Hajar maju ke depan panggung dan mengibarkan bendera sebagai bentuk semangat.
"Saya hanya mengibarkan bendera, spontan. Itu ekspresi semangat, bukan provokasi. Tidak ada peringatan dari aparat yang saya dengar," jelasnya.
Aparat menembakkan water cannon ke arah massa. Hajar segera menjauh dari lokasi dan berjalan menuju titik temu yang telah disepakati bersama teman-temannya. Namun sekitar pukul 17.30 WIB, di basement parkiran Senayan Park, ia justru ditangkap oleh aparat tanpa penjelasan.
"Kami sedang berjalan ke kendaraan untuk pulang. Tiba-tiba saya dikejar dan ditangkap. Saya kaget karena tidak merasa melakukan kesalahan," tambahnya.
Hajar menyebut bahwa proses penangkapannya dilakukan secara kasar. Ia mengalami kekerasan fisik berupa pukulan di kepala dan dagu oleh aparat yang tidak menyampaikan alasan penahanan secara jelas.
Di Polda Metro Jaya, Hajar juga tidak mendapatkan informasi mengenai hak-haknya, termasuk hak atas pendampingan hukum.
"Saya tidak diberi akses ke pendamping hukum di awal. Dalam BAP sempat ditulis saya sudah diberi informasi soal hak-hak saya, padahal tidak. Saya sendiri yang mengoreksi tulisan itu," ungkap Hajar.
Pendampingan hukum baru diperolehnya melalui bantuan dari teman-teman yang menghubungi LBH dan Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAuD). Ia ditahan selama dua hari, sejak 1 Mei hingga 2 Mei pukul 20.00 WIB.
Beberapa hari setelah dibebaskan, Hajar menerima kabar bahwa status hukumnya telah dinaikkan menjadi tersangka. Ia kini dijerat dengan Pasal 212, 216, dan 218 KUHP tentang perlawanan terhadap petugas.
"Saya benar-benar khawatir. Saya tidak melakukan kekerasan, tapi kenapa status saya bisa jadi tersangka? Saya merasa dikriminalisasi."
Pengalaman pahit ini mengubah pandangan Hajar terhadap kebebasan berekspresi di Indonesia. Ia mengaku kecewa dan melihat ini sebagai bentuk represi terhadap suara rakyat.
"Ini seperti pesan dari rezim bahwa rakyat tidak boleh mengkritik. Tapi bukannya mendengar, mereka malah membungkam," katanya.
Meski begitu, Hajar tidak menyesali keikutsertaannya dalam aksi. Ia justru merasa semakin terdorong untuk memperkuat barisan perjuangan.
"Saya tidak menyesal. Justru ini memperkuat komitmen saya untuk terus berada di barisan rakyat. Kami tidak melakukan tindakan anarkis. Kami hanya menyuarakan keresahan rakyat."
Hajar Wisnu Hardiansyah Saat ini ia aktif sebagai mahasiswa Fakultas Teknik Industri dan tergabung dalam organisasi Front Aksi Mahasiswa Serang Raya.
Ia mengaku turun aksi karena merasa bahwa isu-isu buruh, terutama terkait PHK sepihak dan dampak Omnibus Law, adalah ancaman nyata terhadap masa depan generasi muda.
"Sebagai calon pekerja industri, saya sadar bahwa saya bisa menjadi korban PHK sewaktu-waktu. UU Cipta Kerja mengancam kami semua."
Hajar berharap pemerintah dapat membuka telinga terhadap suara buruh dan rakyat kecil, bukan malah menindasnya dengan kekerasan.
"Pemerintah seharusnya menjadi perwakilan rakyat, bukan alat untuk membungkam suara kami. Kami tidak minta lebih, hanya ingin didengar."
Kepada rekan-rekan seperjuangan, ia berpesan agar tetap menjaga solidaritas dan berhati-hati terhadap kriminalisasi.
"Jagalah kawan-kawan di jalanan. Kita bisa dikriminalisasi bahkan tanpa melakukan kejahatan. Tapi jangan takut. Suara kita penting, dan harus terus bersuara."
Kasus Hajar adalah satu dari banyak potret represi terhadap hak berpendapat dan berkumpul secara damai. Di tengah semarak demokrasi yang terus digaungkan pemerintah, penangkapan aktivis tanpa dasar kuat hanya akan memperlebar jurang antara rakyat dan penguasa.
Kebebasan bersuara bukan ancaman—ia adalah pilar keadilan. Di balik slogan "Indonesia Emas", masih banyak suara buruh yang dibungkam atas nama ketertiban. Sementara pelaku korupsi kerap bebas melenggang, rakyat kecil yang bersuara justru dibungkam.
Penulis : Okta
