Ilustrasi ancaman kebebasan pers. (Foto: Lpm Lugas/redaksi). |
Dalam revisinya, nantinya cangkupan penyiaran akan diperluas bukan hanya penyiaran konvensional seperti radio dan TV saja, melainkan juga akan mencangkup penyiaran digital.
Terdapat pasal-pasal dalam revisi UU penyiaran yang perlu diperhatikan antara lain:
1. Dalam Pasal 1 revisi UU Penyiaran menuangkan adanya perluasan wewenang Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), sebagaimana dalam Pasal 1 Ayat (1) dinyatakan bahwa KPI bertugas mengatur dan mengawasi Isi Siaran dan Konten Siaran, yang kemudian dilanjutkan dalam Pasal 1 Ayat (4), yang menjelaskan terkait Isi Siaran yang mencangkup Siaran yang diproduksi oleh lembaga Penyiaran.
2. Kemudian pada Pasal 1 Ayat (17) juga dijelaskan, Konten Siaran merupakan materi siaran digital yang diproduksi oleh Penyelenggara Platform Digital Penyiaran dan/atau penyelenggara platform teknologi penyiaran lainnya.
Adapun konsekuensi dari perluasan pada Pasal 1 tersebut maka Platform Digital akan disanksi layaknya siaran konvensional seperti TV dan Radio.
Kemudian ditegaskan kembali pada Pasal 116 bahwa KPI nantinya dapat merekomendasikan kepada pemerintah untuk melakukan pemutusan akses terhadap Konten Siaran Penyelenggara Platform Digital yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan.
Baca juga: Viral di Medsos Kasus Pembubaran Mahasiswa di Tangsel, Polisi Tetapkan Empat Tersangka
Dengan demikian, KPI mendapatkan perluasan wewenang yang meliputi mengatur isi Siaran dan Konten Siaran, Isi siaran diproduksi oleh Lembaga Penyiaran atau Penyedia Isi Siaran, dan Konten Siaran diproduksi oleh Penyelenggara Platform Digital Penyiaran. Maka akan berlaku juga terhadap tayangan TV yang diupload ke platform digital dan juga konten yang diproduksi secara langsung oleh Penyelenggara Platform Digital Penyiaran (OTT).
Platform User Generated Content (UGC) seperti Youtube, TikTok dan Content Creator juga memungkinkan untuk diatur oleh revisi UU Penyiaran. Hal demikian mendapatkan dukungan juga dari Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Abdul Kharis Al Masyhari melalui pernyataannya.
“Ini kita membandingkan, kalau di TV terestrial (selama) ini diatur (tapi) kenapa yang (media baru) ini bebas. Paham ya? Akhirnya kan begini, di (media baru) sini siaran bebas tanpa aturan (tapi di TV Terestrial) di sini diatur izin itu itu, dasarnya agar ruang siar Indonesia itu kondusif dan aman buat anak-anak. Baik live streaming maupun rekaman, podcast dan sebagainya itu menjadi satu sama dengan isi siaran TV, yang TV walaupun digital pun itu bisa diakses tidak hanya pada saat siaran itu tayang. Jadi statusnya relatif sama,” ujar Abdul saat ditemui Parlementaria usai kegiatan Diskusi Forum Legislasi dengan tema “Menuju Era Baru, RUU Penyiaran Perlu Ikuti Kemajuan Teknologi” di Gedung Nusantara, DPR RI.
Baca juga: Sambut Hardiknas 2024, Puluhan Mahasiswa Gelar Aksi di Depan Kantor Bupati Serang
Pasal 56 Ayat (2) terkait memuat panduan kelayakan Isi Siaran dan Konten Siaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Standar Isi Siaran (SIS) memuat larangan yang dinilai berlebihan terhadap konten digital, seperti yang mendapat perhatian lebih adalah larangan terhadap penayangan suatu profesi atau tokoh yang memiliki perilaku atau gaya hidup negatif yang berpotensi ditiru oleh masyarakat.
Hal-hal seperti ini sering kali bersifat abstrak, lantas apa yang menjadi indikator suatu profesi atau tokoh memiliki perilaku atau gaya hidup yang negatif? Undang-undang tidak memberikan penjelasan secara konkrit. Pasal ini bersifat karet dan bisa saja digunakan oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan secara subjektif.
Selain perluasan wewenang KPI diranah digital dan pelarangan berlebihan terhadap konten digital, dalam revisi RUU Penyiaran terdapat pula pasal-pasal yang berpotensi mengancam kebebasan Pers, seperti pada Pasal 56 Ayat (2) yang mana SIS memuat larangan mengenai penayangan eksklusif jurnalistik investigasi.
Selanjutnya pada Pasal 127 yang menyatakan bahwa muatan jurnalistik dalam isi siaran Lembaga Penyiaran harus sesuai dengan Pedoman Perilaku Penyiaran (P3), SIS, dan ketentuan peraturan perundang-undangan, dimana hal ini memungkinkan terjadinya timpang tindih wewenang antara KPI dan Dewan Pers.
Pasal-pasal tersebut masih banyak yang bersifat multi-tafsir sehingga perancang undang-undang dirasa perlu memberikan suatu kepastian hukum terkait subjek pengaturan dan pengawasan oleh KPI (Pasal 1), yang dimaksud dengan “larangan tayangan eksklusif jurnalistik investigasi” (pasal 56 ayat 2), yang dimaksud dengan “larangan penayangan suatu profesi atau tokoh yang memiliki perilaku atau gaya hidup negatif yang berpotensi ditiru oleh masyarakat” (pasal 56 ayat 2), dan terkait permasalahan tumpang tindih kewenangan antara KPI dan Dewan Pers. (pasal 127).*
(Redaksi)