![]() |
Minimnya ruang aman bagi perempuan (Foto: ilustrasi) |
Dibalik Negeri yang Sibuk Membangun, Anak-Anak Kehilangan Mimpi Hingga Melamun
Oleh: Tubagus Abdul Rasyid Sidik
Di balik gemerlap pembangunan dan janji kesejahteraan, Kabupaten Serang menyimpan luka yang dalam luka yang tak terlihat namun terus menganga.
Sepanjang tahun 2024, tercatat 117 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, dengan 98 di antaranya melibatkan anak-anak sebagai korban. Ironisnya, mayoritas pelaku adalah orang terdekat seperti ayah kandung, ayah tiri, sepupu, kakak kandung, guru, bahkan tokoh agama.
Sebagai pengingat, salah satu kasus yang pernah mengguncang adalah pemerkosaan terhadap siswi SD di Kecamatan Kibin oleh seorang tokoh agama. Kasus ini mencerminkan bagaimana relasi kuasa dimanfaatkan untuk menindas yang lemah, dan bagaimana sistem sering kali gagal melindungi korban.
Ketidakberpihakan sistem terhadap korban semakin nyata ketika proses hukum berjalan lamban, dan pendampingan psikologis serta perlindungan maksimal dari negara tidak diberikan.
Korban sering kali mengalami reviktimisasi saat melapor, dipersulit proses hukum, hingga berhadapan dengan budaya patriarki yang menganggap remeh kasus seperti ini.
Dalam puisi Chairil Anwar, "Aku ingin hidup seribu tahun lagi," tersemat semangat perlawanan terhadap ketidakadilan. Namun, bagaimana mungkin anak-anak di Serang dapat bermimpi hidup seribu tahun lagi jika hari ini pun mereka tak merasa aman?
Sudah saatnya negara, melalui aparat penegak hukum dan lembaga terkait, menunjukkan keberpihakan nyata kepada korban. Perlindungan bukan hanya soal hukum, tetapi juga soal kemanusiaan. Karena setiap anak berhak atas masa depan yang cerah, bukan masa lalu yang kelam.
Di balik tembok kampus yang menjulang, di antara buku-buku yang menumpuk, dan di tengah hiruk-pikuk perkuliahan, tersembunyi luka yang tak terlihat. Kekerasan seksual yang merayap dalam senyap. Ironisnya, tempat yang seharusnya menjadi benteng ilmu dan moralitas justru menjadi ladang sunyi bagi kekerasan seksual yang tak terucapkan.
Data menunjukkan bahwa kekerasan seksual di perguruan tinggi bukanlah isapan jempol belaka. Menurut laporan Komnas Perempuan 2022, tercatat sebanyak 67 aduan kekerasan seksual di berbagai jenjang pendidikan, perguruan tinggi menepati urutan pertama dengan presentase 35% kasus.
Di Provinsi Banten, Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Maulana Hasanuddin Banten mencatat maraknya kasus kekerasan dan pelecehan seksual terhadap mahasiswa, yang menjadi masalah besar dalam setiap perguruan tinggi.
Sebagai respons terhadap meningkatnya kasus kekerasan seksual, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mengeluarkan Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi. Namun, implementasinya masih jauh dari harapan.
Beberapa perguruan tinggi di Banten telah membentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS), seperti Institut Banten dan Universitas Banten Jaya (Unbaja). Namun, efektivitas Satgas ini masih dipertanyakan. Kurangnya dukungan dari pimpinan kampus dan minimnya sosialisasi membuat Satgas PPKS belum mampu menjalankan fungsinya, secara optimal.
Korban kekerasan seksual di lingkungan kampus sering kali menghadapi berbagai hambatan dalam mencari keadilan. Mulai dari proses pelaporan yang rumit, kurangnya pendampingan psikologis, hingga stigma sosial yang melekat. Hal ini membuat banyak korban memilih untuk diam, menahan luka dalam sunyi.
Sudah saatnya perguruan tinggi di Banten, khususnya di Kabupaten Serang, mengambil langkah konkret dalam mencegah dan menangani kekerasan seksual. Pembentukan Satgas PPKS harus diiringi dengan komitmen nyata dari seluruh elemen kampus. Karena setiap mahasiswa berhak atas lingkungan belajar yang aman, bebas dari ketakutan, dan penuh dengan harapan.